Sebelum Segalanya: Menyingkap Misteri Awal Keberadaan

Apakah segala sesuatu memerlukan sebab? Di mana awal mula alam semesta terjadi? Temukan penelusuran rasional tentang misteri sebelum ruang, waktu, dan hukum alam ada.
Keywords : asal usul alam semesta, awal mula keberadaan, misteri alam semesta, sebab pertama, sebelum ruang dan waktu.
Pendahuluan: Segala Sesuatu dalam Dimensi Ruang dan Waktu
Alam semesta adalah segala sesuatu yang dapat kita alami secara empiris, yang ada dalam dimensi ruang dan waktu. Keberadaannya nyata bagi pengalaman kita.
Pernyataan fundamental bahwa "Segala Sesuatu berada dalam Dimensi Ruang dan Waktu" adalah landasan pemahaman kita tentang realitas fisik. Ini mencakup totalitas materi dan energi yang membentuk alam semesta, mulai dari partikel subatomik hingga struktur kosmik raksasa, yang eksis dan berinteraksi dalam kerangka ruang tiga dimensi dan aliran waktu.
Ruang menyediakan arena di mana entitas-entitas ini menempati posisi dan berinteraksi, sementara waktu memungkinkan terjadinya perubahan dan evolusi.
Fisikawan John Archibald Wheeler pernah berkata, “We live on an island of knowledge surrounded by a sea of ignorance.” Ungkapan ini mencerminkan keterbatasan manusia dalam memahami realitas, terutama ketika bertanya tentang awal mula dari segala sesuatu.
Tanpa dimensi ruang dan waktu, konsep keberadaan fisik akan kehilangan makna, menjadikan keduanya sebagai panggung fundamental bagi seluruh fenomena dan dinamika kosmik yang kita amati.
namun pertanyaan tentang asal-usulnya membawa kita pada batas pengetahuan manusia.
Alam Semesta: Realitas yang Empiris
Keberadaan alam semesta tidak diragukan secara empiris. Alam semesta, dalam pemahaman empiris kita, merangkum segala entitas fisik yang terbentang dalam dimensi ruang dan waktu. Mulai dari gugusan galaksi yang tak terhitung jumlahnya, bintang-bintang yang memancarkan cahaya, planet-planet yang mengorbit, hingga debu dan gas antar bintang yang mengisi kehampaan, semuanya adalah bagian dari realitas yang dapat kita amati dan ukur.
Keberadaannya begitu nyata bagi pengalaman inderawi dan instrumen ilmiah kita. Kita mengamati bintang, galaksi, partikel, dan medan energi. Semuanya berada dalam jaringan ruang dan waktu yang membentuk realitas kita.
Dalam studi kosmologi modern, teleskop seperti James Webb dan pengukuran radiasi latar kosmik (CMB) oleh misi Planck membuktikan secara meyakinkan bahwa alam semesta memiliki awal: sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu dalam peristiwa yang kita sebut Big Bang.
Namun, seperti dikatakan Stephen Hawking dalam A Brief History of Time, “Science cannot answer why there should be a universe at all.” Ia hanya bisa melacak kejadian setelah alam semesta mulai, bukan mengapa ia ada.
Keterbatasan Ilmu Pengetahuan dalam Menjelaskan Awal Keberadaan
ketika kita menelisik lebih jauh ke masa lalu, mempertanyakan bagaimana dan mengapa alam semesta ini ada, kita dihadapkan pada batas-batas fundamental pengetahuan manusia.
Ilmu pengetahuan, meski luar biasa dalam memahami mekanisme alam, tetap terbatas. Ia beroperasi dalam ruang dan waktu, dan karenanya tidak mampu menembus "sebelum" ruang dan waktu itu sendiri ada. Pertanyaan tentang asal usul melampaui batas metode ilmiah.
Teori Big Bang menunjukkan bahwa alam semesta berasal dari keadaan sangat padat dan panas. Namun ketika kita melacak kembali ke detik-detik awalnya—hingga titik Planck (~10^-43 detik setelah Big Bang)—teori relativitas umum tak lagi berlaku, dan mekanika kuantum belum bisa menjelaskannya sepenuhnya. Ini disebut singularitas kosmik—titik di mana hukum fisika runtuh.
Teori Big Bang, sebagai salah satu model kosmologi yang dominan, mencoba menjelaskan evolusi alam semesta dari kondisi yang sangat padat dan panas, namun apa yang memicu Big Bang itu sendiri, atau apa yang ada "sebelum" ruang dan waktu muncul, masih menjadi misteri yang melampaui jangkauan observasi langsung kita. Pertanyaan ini membawa kita ke wilayah di mana sains bertemu dengan filsafat, memicu spekulasi tentang sifat dasar realitas dan kemungkinan adanya realitas lain di luar alam semesta yang kita kenal.
kita pernah membahas ini di artikel sebelumya : Keterbatasan Ilmu Pengetahuan: Batasan dan Peranannya dalam Memahami Alam Semesta
Kausalitas Sebagai kesimpulan induktif dari pengamatan Empiris
Pengamatan empiris kita terhadap alam semesta mengungkapkan berbagai keteraturan dan korelasi antar fenomena. Melalui interaksi dan penelitian, kita mengamati bahwa peristiwa tertentu cenderung diikuti oleh peristiwa lain secara konsisten.
Dari pengamatan berulang inilah, kita secara induktif menyimpulkan adanya hubungan kausalitas, di mana satu peristiwa dianggap sebagai penyebab dari peristiwa lainnya. Misalnya, kita mengamati bahwa ketika sebuah benda didorong (sebab), ia cenderung bergerak (akibat). Pola-pola yang kita amati ini memungkinkan kita untuk membangun pemahaman tentang bagaimana alam semesta bekerja dan membuat prediksi tentang konsekuensi dari tindakan atau kejadian tertentu.
Seluruh metode ilmiah modern memiliki akar yang kuat dalam pemahaman tentang hubungan kausalitas yang kita tarik dari pengamatan empiris.
Proses ilmiah pada dasarnya adalah upaya sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami hubungan sebab-akibat yang mengatur alam semesta. Melalui eksperimen terkontrol, para ilmuwan berusaha untuk mengisolasi variabel dan mengamati bagaimana perubahan pada satu variabel (sebab) mempengaruhi variabel lainnya (akibat).
Hipotesis ilmiah seringkali merupakan pernyataan tentang potensi hubungan kausalitas, yang kemudian diuji melalui pengumpulan data empiris. Jika pengamatan dan eksperimen secara konsisten mendukung adanya hubungan sebab-akibat yang diprediksi, maka hipotesis tersebut dapat berkembang menjadi teori ilmiah yang lebih mapan. Dengan demikian, pencarian dan pemahaman tentang hubungan kausalitas, yang berawal dari pengamatan empiris, adalah motor penggerak utama dalam pengembangan pengetahuan ilmiah kita.
Dengan mempertimbangkan seluruh pengetahuan yang tersedia, menerima kausalitas sebagai prinsip mutlak merupakan posisi paling rasional. Segala sesuatu yang kita pahami mengarah pada hubungan sebab akibat, termasuk dalam pengamatan ilmiah yang paling maju.
Banyak teori dan hukum ilmiah dibangun atas dasar identifikasi hubungan sebab-akibat yang konsisten. Jika konsep kausalitas itu sendiri goyah, maka fondasi logika yang mendasari teori-teori ini juga akan terancam. Misalnya, hukum Newton tentang gerak didasarkan pada gagasan bahwa gaya (sebab) menghasilkan percepatan (akibat). Jika hubungan ini ternyata tidak fundamental, maka interpretasi kita terhadap hukum-hukum ini perlu ditinjau ulang secara radikal. Ini akan menantang validitas banyak kesimpulan yang telah ditarik dari penelitian ilmiah.
Bayangkan kamu melihat sebuah gelas jatuh dari meja dan pecah. Bahkan jika kamu tidak melihat siapa yang mendorongnya, kamu akan segera menyimpulkan bahwa ada penyebabnya. Tidak masuk akal jika gelas itu jatuh tanpa sebab apa pun.
Begitu pula dengan alam semesta. Jika sesuatu yang sederhana seperti jatuhnya gelas menuntut sebab, bagaimana mungkin sesuatu sebesar segala sesuatu tidak memiliki penyebab?
Apakah Semua yang Ada Memerlukan Sebab?
Salah satu prinsip mendasar yang melandasi akal sehat manusia adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada pasti memiliki sebab. Prinsip ini disebut sebagai prinsip kausalitas, dan menjadi fondasi tidak hanya bagi pemikiran filosofis, tetapi juga bagi sains itu sendiri.
Pertanyaan berikutnya : apakah segala sesuatu yang ada harus memiliki sebab? Dalam realitas sehari-hari, kausalitas tampak sebagai hukum universal.
Sebagian kritik modern terhadap prinsip ini datang dari pengamatan terhadap fenomena di tingkat kuantum, seperti fluktuasi vakum atau peluruhan radioaktif, yang tampaknya terjadi tanpa sebab yang jelas. Namun, menyimpulkan bahwa tidak ada sebab hanya karena sebab tersebut belum ditemukan adalah bentuk logika yang keliru. Itu adalah argumen dari ketidaktahuan (argumentum ad ignorantiam).
Lebih jauh lagi, fisika kuantum sendiri belum benar-benar dipahami secara utuh. Bahkan para ilmuwan yang paling ahli di bidang ini pun mengakui bahwa interpretasi terhadap realitas kuantum masih penuh perdebatan dan ketidakpastian. Maka, menganggap bahwa prinsip kausalitas tidak berlaku hanya karena dunia kuantum tampak tidak kausal adalah langkah metafisik yang spekulatif, bukan konklusi ilmiah yang kokoh.
Alih-alih melepaskan prinsip kausalitas, sikap yang lebih logis adalah menyimpulkan bahwa ada mekanisme kausal di balik fenomena kuantum yang belum kita pahami sepenuhnya. Ini lebih selaras dengan prinsip rasionalitas dan juga lebih ekonomis secara konseptual.
Maka, tetap berpijak pada prinsip bahwa segala sesuatu memiliki sebab bukanlah dogma, melainkan posisi rasional dan terbuka terhadap kemungkinan penemuan ilmiah yang lebih dalam di masa depan.
Penghentian Regresi Kausalitas: Titik Awal Segala Sesuatu
Setiap hal yang kita ketahui dalam pengalaman manusia memiliki sebab. Bila kita terus menelusuri sebab-sebab ini ke belakang, maka akan muncul pertanyaan: apakah rangkaian sebab ini bisa berjalan tanpa akhir — sebuah regresi tak berhingga?
Secara logis, konsep ini mengandung kontradiksi.
Jika setiap peristiwa disebabkan oleh peristiwa sebelumnya, maka kita masuk ke dalam regresi tak hingga. Tetapi logika menunjukkan bahwa regresi tak hingga dalam kausalitas tidak mungkin selesai. Tanpa titik awal, tak akan ada “pemicu pertama”, dan dengan itu, tak akan pernah ada kejadian pertama—termasuk keberadaan kita saat ini.
Bayangkan sebuah barisan domino yang jatuh satu per satu. Jika tidak ada domino pertama yang mulai jatuh, maka tak satu pun dari domino lainnya akan pernah jatuh. Demikian pula, bila tidak ada sebab awal, maka tak ada alasan rasional bagi sesuatu untuk pernah terjadi. Maka, untuk menjelaskan keberadaan segala sesuatu, kita butuh titik tolak: suatu sebab pertama yang tidak disebabkan oleh apapun sebelumnya.
Kritik terhadap pandangan ini mungkin muncul: mengapa tidak menerima saja regresi tak berhingga? Bukankah itu mungkin secara konseptual?
Jawabannya: tidak, karena jika proses itu tak pernah dimulai, maka akibatnya tak akan pernah hadir. Dalam logika waktu dan sebab, sesuatu tidak bisa muncul dari deretan yang tidak pernah selesai.
Untuk mengilustrasikannya, bahkan jika kita menganggap bahwa semesta fisik ini dihasilkan dari semacam "bahan baku" primordial, pertanyaan tentang eksistensi "bahan baku" itu sendiri akan memicu regresi lebih lanjut. Oleh karena itu, keberadaan fundamental dari segala sesuatu yang kita amati tampaknya harus diawali dari ketiadaan bentuk fisik sebelumnya, sebuah transisi dari "tidak ada" menjadi "ada" yang menjadi titik awal bagi ruang, waktu, hukum-hukum alam, dan seluruh alam semesta.
Aristoteles menyebutnya sebagai Unmoved Mover, dan Thomas Aquinas menyebutnya sebagai Causa Prima (Sebab Pertama), yaitu realitas yang menyebabkan segala sesuatu tanpa disebabkan oleh apa pun.
Apakah Alam Semesta Berasal dari Ketiadaan?
Jika kita berteori bahwa alam semesta muncul secara langsung dari ketiadaan, kita segera dihadapkan pada sebuah paradoks filosofis yang mendasar.
Secara intuitif dan logis, ketiadaan, yang didefinisikan sebagai tidak adanya segala sesuatu, termasuk potensi, properti, atau kekuatan apa pun, tampaknya tidak memiliki kapasitas inheren untuk menghasilkan sesuatu. Bagaimana mungkin "tidak ada" tiba-tiba melahirkan "ada" tanpa adanya pemicu, mekanisme, atau potensi yang mendasarinya?
Munculnya Konsep Agen Transenden
Paradoks ini memunculkan kebutuhan akan adanya "sesuatu" yang mendahului atau berada di luar ketiadaan itu sendiri. inilah yang dimaksud sebagai agen Transenden.
Konsep tentang agen transenden: sesuatu yang berada di luar ruang, waktu, dan hukum alam. Agen ini, dalam filsafat klasik, adalah "sebab pertama" — entitas yang ada dengan sendirinya dan memulai keberadaan tanpa bergantung pada sebab lain.
Kebutuhan akan keberadaan agen transenden adalah mutlak diperlukan untuk keluar dari paradoks logis yang ditemukan sebelumnya. tidak ada cara lain untuk keluar dari paradoks tersebut kecuali menerima keberadaan agen transenden inj.
Kesimpulan: Rasionalitas di Balik Awal Keberadaan
Dengan mempertahankan prinsip kausalitas dan kebutuhan penghentian regresi, menerima adanya agen transenden bukan hanya logis, tetapi juga rasional. Ia memberikan dasar paling kokoh untuk memahami mengapa ada sesuatu daripada tidak ada apa-apa.
Dari sinilah kemudian Konsep Penciptaan alam semesta dimuai secara logis dan rasional.
Evaluasi Rasional Terhadap Kritik
Setelah mengembangkan argumen tentang asal-usul alam semesta, prinsip kausalitas, dan kebutuhan akan suatu awal, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan keberatan atau kritik terhadap pandangan ini.
Dengan menganalisis kritik secara rasional, kita dapat menguji kekuatan argumen yang telah dibangun, sekaligus memperjelas batas-batas pemahaman yang logis tentang realitas.
Berikut ini adalah evaluasi terhadap kritik-kritik yang paling umum diajukan.
1. Fisika Kuantum dan Kausalitas
Kritik yang menggunakan fisika kuantum untuk menolak prinsip kausalitas bertumpu pada pemahaman yang sangat terbatas terhadap realitas kuantum.
Meskipun dunia kuantum tampak penuh dengan probabilitas dan ketidakpastian, ini tidak berarti kausalitas tidak ada — melainkan menunjukkan bahwa mekanisme kausalnya belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, mempertahankan prinsip kausalitas tetap merupakan posisi rasional yang terbuka terhadap penemuan lebih lanjut.
2. Regresi Tak Berhingga
Menerima regresi tak berhingga sebagai solusi membawa kepada kontradiksi logis: tanpa awal, tidak ada rangkaian peristiwa yang bisa mencapai sekarang. Karena itu, mengakui adanya sebab pertama yang tak disebabkan bukanlah spekulasi berlebihan, melainkan kesimpulan logis minimal untuk menghindari absurditas.
3. Awal Mula Segala Sesuatu
Konsep "awal" tetap relevan, meskipun waktu adalah bagian dari alam semesta.
Awal tidak hanya berarti perubahan dalam waktu, tetapi transisi eksistensial dari non-eksistensi ke eksistensi. Dengan demikian, gagasan tentang awal mula alam semesta tetap logis dan konsisten dengan baik filsafat rasional maupun kosmologi ilmiah modern.
Penutup
Dengan mempertahankan prinsip kausalitas, menolak regresi tak berhingga, dan menegaskan adanya awal mula, kita membangun kerangka rasional yang kokoh untuk memahami asal-usul realitas — tanpa harus terjatuh ke dalam spekulasi liar atau kontradiksi logis.
---
Lalu bagaimana dengan konsep penciptaan itu, bagaimana sebab pertama itu terjadi, bagaimana detail dari agen transenden ini? Nantikan terus artikel-artikel selanjutnya di ZON., di mana kita akan bersama-sama merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang terus menggelitik akal budi kita.
FAQ
Apakah alam semesta memerlukan sebab?
Jika kita menerima kausalitas sebagai mutlak, maka alam semesta harus memiliki sebab awal.
Apa itu sebab pertama dalam filsafat?
Sebab pertama adalah entitas yang ada dengan sendirinya tanpa sebab lain, yang menghentikan regresi sebab akibat.
Apa yang dimaksud agen transenden?
Agen transenden adalah sesuatu yang ada di luar ruang, waktu, dan hukum alam, menjadi sumber awal keberadaan.
Mengapa kausalitas dianggap mutlak?
Karena seluruh pengalaman empiris dan pengetahuan ilmiah menunjukkan keterikatan erat antara kejadian dan sebabnya, menjadikan kausalitas sebagai prinsip fundamental.
Daftar Pustaka
Hawking, Stephen. Riwayat Sang Waktu: Dari Dentuman Besar sampai Lubang Hitam. Terj. L. Widodo. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.
Craig, William Lane. Argumen Kalam untuk Eksistensi Tuhan. Terj. Abu Umar Basyier. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.
Nasr, Seyyed Hossein. Ilmu dan Peradaban dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy. Bandung: Mizan, 1992.
Hume, David. Penyelidikan tentang Akal Budi Manusia. Terj. Ahmad Muhajir. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.
Aristoteles. Metafisika. Terj. Ahmad Sunarto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Siregar, Ahmad Fauzi. "Konsep Sebab Pertama dalam Filsafat Aristoteles dan Thomas Aquinas." Jurnal Filsafat, Vol. 28 No. 1 (2018): 1–18.
Daldjoeni, N. Kosmologi dan Antropologi dalam Perspektif Filsafat. Bandung: Penerbit Alumni, 2000.
Kafrawi, Ahmad. "Pemikiran Kosmologis Imam Al-Ghazali dan Implikasinya terhadap Sains Islam." Jurnal Theologia, Vol. 26, No. 2 (2015): 251–267.
Mujiburrahman. Pengantar Studi Islam dan Sains. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 2: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Salamadani, 2010. [Relevan untuk narasi integratif agama–sains dalam sejarah Nusantara.]