Eksodus Musa: Penyeberangan Laut Merah
Berdasarkan rekonstruksi kronologis yang menempatkan Musa sebagai figur yang dibesarkan di istana Hatshepsut, adalah mungkin—secara naratif—bahwa dia dan Thutmose III saling mengenal dalam kapasitas tertentu semasa muda mereka. Meskipun bukti sejarah langsung untuk hubungan ini tidak ada, kemungkinan ini memberikan kedalaman psikologis yang kuat untuk memahami dinamika yang tak terucapkan di balik konfrontasi epik mereka.
Dengan asumsi mereka saling menegal, ketegangan antara Musa dan Thutmose III mungkin lebih dalam daripada apa yang bisa kita bayangkan. Alih-alih hanya membaca kisah itu sebagai konfrontasi seorang nabi dengan penguasa lalim, kita bisa membingkainya sebagai pertarungan personal yang berlapis sejarah emosional, politik, dan keluarga.
Prolog: Setelah Tulah, mulailah melangkah
Mesir kuno mencatat kemenangan demi kemenangan, tetapi hampir tidak pernah mencatat kekalahan. Itulah sebabnya jejak tentang Tulah—sebagaimana dituturkan dalam Kitab Keluaran—tidak kita temukan di prasasti resmi. Namun, ketiadaan catatan bukanlah bukti ketiadaan.
Para sejarawan dan ilmuwan modern kerap mencoba memberi penjelasan: perubahan iklim, wabah penyakit, fenomena alam. Mungkin benar, mungkin tidak. Tetapi yang jelas, kisah itu tetap bertahan dalam tradisi Israel selama ribuan tahun.
Maka, untuk tujuan kita di sini, biarlah kita menerima satu hal sederhana: Tulah pernah terjadi. Bagaimana detailnya, bukan itu yang akan kita telusuri.
Yang lebih penting adalah apa yang terjadi setelahnya:
Sebuah bangsa diizinkan meninggalkan Mesir. Mereka memulai perjalanan panjang, penuh misteri, menuju tanah yang dijanjikan.
Dari manakah mereka benar-benar berangkat? Ke arah mana mereka melangkah? Mengapa rute yang dipilih justru tidak lumrah? Dan di manakah mereka pertama kali berhenti?
Inilah kisah yang akan kita analisis—kisah eksodus itu sendiri, bukan lagi tulah-tulah yang mendahuluinya.
Titik keberangkatan
"Jika Tulah sudah terjadi dan izin telah diberikan, maka kisah sesungguhnya baru dimulai: langkah pertama dari perjalanan besar ini. Namun, di sinilah muncul pertanyaan yang sulit dijawab, bukan teologis, melainkan geografis: dari mana sebenarnya mereka berangkat?"
Dalam Keluaran 12:37 tertulis:
“Orang Israel berangkat dari Rameses ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak.”
Mari kia luruskan sedikit
"Orang Israel berangkat dari Rameses", perlu digaris bawahi, Rameses mungkin merujuk kepada kota Pi Ramesess di delta, namun kota ini baru dibangun berabad abad kemudian, jadi seperti pada artikel kita sebelumnya, kita akan menerima bahwa nama ini adalah anacronism, nama kota ini digunakan mungkin merujuk kepada ibukota Mesir yang saat itu ada di Thebes, sementara Torah ditulis pada saat ibukota mesir telah berada di Pi Ramesess.
Penyebutan ‘Rameses’ sendiri mungkin sebuah anakronisme—yaitu istilah yang digunakan penulis belakangan untuk menamai kota atau wilayah dengan nama yang sudah akrab pada zamannya, meski pada masa Musa kota itu belum ada.
kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak. dalam interpretasi literal, sebenarnya kata ribu dalam bahasa inrani ditulis elef, kata ini tidak hanya berarti ribu, namun juga bisa berarti unit, dan dalam konteks "laki-laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak", itu dapat merujuk kepada unit laki laki yang mewakili keluarga, jadi yang dimaksud pasal ini secara literal dapat diartikan "kira kira 600 unit keluarga".
Jika benar yang dimaksud adalah 600 unit keluarga, maka jumlah totalnya bisa jadi hanya beberapa ribu orang. Angka ini jauh lebih mungkin untuk menjelaskan bagaimana mereka dapat bergerak cepat dan bertahan hidup dalam rute padang gurun.
Rute Berangkat yang tak lazim
Jika eksodus dimulai Thebes, maka arah perjalanan menjadi berbeda dengan interpretasi tradisi. Alih-alih bergerak ke utara menuju Delta menurut rute umum pada masa itu, kafilah ini justru bergerak ke timur, menembus padang gurun menuju Laut Merah. Strategi ini memiliki keuntungan: Firaun terkecoh, karena rute normal menuju Kanaan adalah jalur utara.
Narasi Torah mendukung hipotesis ini: “Allah menuntun mereka memutar lewat padang gurun menuju laut” (Kel. 13:18).
Malam itu, setelah tulah terakhir, bangsa Israel berangkat dari Thebes. Torah menekankan bahwa mereka melangkah dengan tergesa, bahkan roti tidak sempat beragi. Dengan membawa ternak dan perbekalan seadanya, kafilah besar ini menyusuri jalur wadi menuju pesisir Laut Merah.
Perjalanan darat ini keras dan melelahkan. Namun karena dibayang-bayangi pasukan Firaun, mereka terpaksa bergerak cepat. Jika kafilah normal menempuh 15–20 km per hari, maka dalam pelarian mereka bisa mencapai 25–30 km. Dalam delapan sampai sepuluh hari, mereka sudah mencapai pelabuhan kuno di pesisir timur—Safaga atau sekitarnya
Sukot dan Etam: Jejak di Jalur Padang Gurun
Jika titik berangkat adalah Thebes, maka rute ke Laut Merah menjadi lebih jelas: Musa menuntun bangsa Israel melewati jalur kafilah kuno yang menghubungkan lembah Nil dengan pesisir Quseir di Laut Merah. Jalur ini keras, penuh batuan gurun dan lembah sempit, namun sejak Kerajaan Tengah sudah digunakan untuk ekspedisi tambang dan perdagangan.
Di sinilah dua nama yang disebut dalam Torah menemukan tempatnya. Sukot—yang dalam bahasa Ibrani berarti “pondok-pondok” atau “perkemahan”—bukanlah sebuah kota besar, melainkan titik perhentian pertama di padang gurun. Di sana rombongan besar itu berhenti, mengatur barisan, mendirikan kemah, dan mempersiapkan diri untuk menembus jalur yang panjang.
Dari sana mereka bergerak lagi hingga tiba di Etam. Kitab Keluaran menyebut lokasi ini sebagai “pinggir padang gurun” (Kel. 13:20). Jika hipotesis Thebes benar, maka Etam dapat dipahami sebagai ujung jalur kafilah, tepat di tepi Laut Merah, di sekitar pelabuhan kuno Quseir—gerbang Mesir Hulu menuju samudra.
Narasi Torah menyatakan: “Mereka berangkat dari Sukot dan berkemah di Etam, di tepi padang gurun.” (Kel. 13:20). Dengan demikian, rute itu tidak lagi abstrak. Ia berakar pada realitas jalur karavan yang memang ada, menghubungkan pusat Mesir Hulu dengan Laut Merah.
Di titik inilah bangsa Israel untuk pertama kalinya berdiri di tepi laut. Perjalanan mereka baru saja dimulai, namun di hadapan membentang penghalang raksasa: bentangan air yang akan menjadi panggung konfrontasi terakhir dengan Firaun.
Pengejaran Firaun
Tak lama setelah bangsa Israel meninggalkan Mesir, kabar itu sampai ke telinga istana. Firaun menyesal. Keputusan untuk membiarkan mereka pergi kini terasa sebagai kelemahan, noda pada wibawanya sebagai penguasa yang dipandang ilahi. “Apa yang telah kita lakukan? Kita telah membiarkan para budak itu lari dari pekerjaan kita!” (Kel. 14:5).
Dengan amarah membara, ia mengerahkan pasukan pilihannya: enam ratus kereta terbaik, diiringi kavaleri dan infanteri. Kereta-kereta perang ringan, senjata pamungkas Mesir, meluncur bagaikan angin di padang Nil.
Namun arah yang ditempuh Musa bukanlah arah yang biasa. Alih-alih menuju Delta dan jalur utara yang ramai, mereka bergerak ke timur, menembus jalur gurun menuju Laut Merah. Rute ini jarang dipakai pasukan Mesir. Jalannya sempit, berbatu, menembus wadi-wadi (lembah kering) yang berkelok. Kereta perang kehilangan kecepatan, keunggulan militer Mesir memudar di hari-hari pertama pengejaran.
Meski demikian, keunggulan disiplin dan daya tahan pasukan Mesir tetap membuat mereka mampu mendekat. Perlahan, jarak antara tentara dan rombongan Israel menyempit. Pada akhirnya, Firaun berhasil menyusul mereka di tepi laut, tempat Musa dan bangsa Israel berhenti, terjepit di antara gurun dan air yang terbentang.
Di titik inilah konfrontasi terakhir akan terjadi—antara kekuatan dewa-raja Mesir dengan Allah yang membebaskan.
Penyeberangan Laut
Torah menyebut Yam Suf (Laut Berbuluh). Tradisi sering menempatkannya di Teluk Suez atau danau rawa Delta. Namun, jika eksodus dimulai dari Thebes, maka rute yang lebih logis adalah menuju pesisir timur Laut Merah, misalnya pelabuhan Safaga, lalu menyeberang ke arah Duba (Arab Saudi). Dari sana, jalur menuju Midian dan Sinai lebih konsisten.
Torah menggambarkan peristiwa agung: laut terbelah, dan Israel berjalan di tanah kering dengan dinding air di kiri dan kanan (Kel. 14:21-22). Gambaran ini menegaskan bahwa yang terjadi bukanlah fenomena biasa, melainkan mukjizat besar yang menjadi tanda pembebasan bangsa itu.
Sejumlah ilmuwan modern mencoba menjelaskannya dengan teori alamiah—angin kencang yang membuat perairan surut sementara, atau rawa-rawa dangkal di Delta. Namun teori ini sulit selaras dengan teks Torah. Tidak ada “tanah becek” dalam kisah itu, melainkan “tanah kering di tengah laut,” dan bukan sekadar kubangan air, melainkan “dinding air di kiri dan kanan.”
Justru hipotesis penyeberangan dengan perahu lebih dekat dengan deskripsi narasi. Israel tidak berangkat dalam keadaan miskin—mereka membawa ternak dan harta jarahan (Kel. 12:36). Bukan mustahil mereka telah menyiapkan kapal dagang sewaan di pesisir Safaga. Kapal digerakkan oleh angin, dan di atas kapal orang memang berpijak di tempat yang kering. Dari geladak, laut yang terbentang luas di kiri dan kanan memang terlihat seperti dinding air tak berujung.
Terlepas dari bagaimana penyeberangan ini berlangsung—apakah mereka benar-benar menyeberang dengan kapal, atau dengan cara lain yang tak lagi kita pahami sepenuhnya—yang jelas peristiwa itu adalah mukjizat. Mukjizat bukan semata soal meniadakan hukum alam, melainkan tentang bagaimana pada saat yang paling genting, jalan keselamatan terbuka bagi Israel, sementara musuh mereka binasa di tempat yang sama.
Penyeberangan memakan waktu panjang, tidak instan—sepanjang malam, mungkin hingga dua hari penuh. Mukjizat itu bukan hanya pada cara menyeberanginya, melainkan pada kenyataan bahwa ribuan jiwa lolos dengan selamat, sementara pasukan Firaun tenggelam di perairan yang sama.
Menuju Sinai
Setelah mendarat di pesisir Duba (Arab Saudi sekarang), rombongan ini untuk pertama kalinya tidak lagi merasa terancam. Mereka merayakan nyanyian pembebasan, “Tuhan telah melemparkan kuda dan penunggangnya ke dalam laut.”
Setelah penyeberangan dari pesisir timur Laut Merah (misalnya dari Safaga ke Duba), rombongan Israel tiba di pesisir barat laut Jazirah Arabia, wilayah yang kini termasuk Tabuk, Arab Saudi.
Daerah ini merupakan garis pantai yang relatif datar dan memiliki beberapa wadi besar (lembah kering) yang bisa dilalui manusia dan ternak.
Di sini mereka mulai menempuh perjalanan ke arah utara-barat, menyusuri garis pantai Laut Merah, menuju wilayah Midian. Jalur ini membawa mereka melintasi padang gurun Syur. Beberapa hari kemudian, mereka berhenti di Mara—tempat airnya pahit, lalu di Elim—tempat dua belas mata air dan tujuh puluh pohon kurma memberi penghiburan singkat.
Tidak ada lagi desakan musuh. Perjalanan kini melambat. Mereka berkemah lama di padang gurun Sin, di mana persediaan makanan habis dan keluhan mulai terdengar. Torah mencatat, di sinilah mereka pertama kali menerima manna.
Dari padang gurun Sin mereka melanjutkan ke Rafidim, tempat air keluar dari gunung ketika dipukul Musa. Setiap perhentian memperlihatkan pola baru: kesulitan, keluhan, dan penyediaan ilahi.
Akhirnya, pada bulan ketiga sejak keluar dari Mesir, bangsa Israel tiba di padang gurun Sinai, tepat di kaki gunung yang kita tempatkan di wilayah Midian, utara Arab Saudi. Waktu tempuh ini—sekitar dua sampai tiga bulan—sepenuhnya selaras dengan catatan Torah: dari tergesa-gesa keluar Mesir, menyeberang laut, berkemah demi berkemah, hingga akhirnya berdiri di hadapan gunung tempat Perjanjian itu diikat.
Wadi Aynunah
Perjalanan pertama mereka kemungkinan hanya menempuh jarak ± 30–40 km ke utara. Di Wadi Aynunah, ditemukan beberapa sumber air dengan kadar garam tinggi — sangat cocok dengan deskripsi “Mara”, tempat airnya pahit dan tidak dapat diminum (Kel. 15:23–24).
Di sinilah Musa “melemparkan kayu ke dalam air”, dan air itu menjadi tawar.
Wadi Tayyib al-Ism
Dari Mara, mereka berjalan lagi sekitar 15–20 km ke utara dan sedikit ke pedalaman menuju Wadi Tayyib al-Ism, lembah hijau yang menakjubkan dengan mata air dan pohon kurma hingga kini.
Tempat ini cocok dengan deskripsi Elim “dua belas mata air dan tujuh puluh pohon kurma” (Kel. 15:27).
Wadi Tayyib al-Ism
Setelah beristirahat di Elim, rombongan melanjutkan perjalanan ke timur laut, meninggalkan garis pantai dan memasuki padang luas — kemungkinan besar antara Tayyib al-Ism dan Wadi Ifal.
Inilah yang disebut Padang Gurun Sin, tempat mereka mulai bersungut-sungut karena kekurangan makanan (Kel. 16:1–3).
Di sinilah tradisi “manna dan burung puyuh” dimulai.
Al-Badʿ
Dari dataran itu mereka terus bergerak ke timur menuju wilayah subur Al-Badʿ, yang secara tradisi Arab dikenal sebagai “kota Midian”.
Tempat ini memiliki lembah luas, sumber air alami, dan batu granit besar yang disebut “Batu Musa” — identifikasi yang cocok dengan kisah Musa memukul batu di Rafidim (Kel. 17:1–7).
Jabal al-Lawz
Dari Al-Badʿ, perjalanan terakhir menuju Gunung Sinai menempuh jarak ± 20–25 km ke timur.
Gunung Jabal al-Lawz menjulang setinggi ± 2.580 meter, dikelilingi padang luas yang cukup menampung ribuan orang.
Banyak peneliti (seperti Ron Wyatt, Lennart Möller, dan Bob Cornuke) mengajukan gunung ini sebagai Sinai yang sebenarnya, karena:
- puncaknya terlihat “hangus” (batuan basalt hitam),
- terdapat dataran luas di kaki gunung,
- dan ada sisa-sisa struktur batu menyerupai altar atau pagar kuno.
→ Kesesuaian: maksimal.
Torah mencatat bahwa mereka “berkemah di kaki gunung” (Kel. 19:2), dan lokasi ini memenuhi syarat geografisnya dengan sangat baik.
Gunung Sinai dan Wahyu
Setelah perjalanan panjang penuh penderitaan, bangsa Israel akhirnya tiba di kaki gunung. Torah mencatat: “Pada bulan ketiga setelah orang Israel keluar dari tanah Mesir, tibalah mereka di padang gurun Sinai; mereka berkemah di padang gurun itu, berkemah di sana di depan gunung itu” (Kel. 19:1–2).
Tradisi Bizantium sejak abad ke-4 menempatkan gunung ini di Semenanjung Sinai bagian selatan, tepatnya di Jabal Musa (Gunung Musa), yang kemudian dijadikan lokasi pembangunan biara St. Katarina. Namun penempatan ini lebih merupakan hipotesis teologis dan politik, bukan hasil dari bukti sejarah atau arkeologi. Faktanya, tidak ada data arkeologis yang mendukung keberadaan bangsa Israel di Jabal Musa pada zaman Eksodus. Penentuan lokasi ini dilakukan berabad-abad setelah peristiwa yang dimaksud, terutama karena faktor devosi Kristen awal, bukan berdasarkan kesaksian teks asli.
Narasi Torah sendiri justru memberi petunjuk lain. Musa pertama kali berjumpa dengan Allah di Horeb, “gunung Allah, yang ada di Midian” (Kel. 3:1). Midian terletak di wilayah seberang Laut Merah, yang kini termasuk barat laut Arabia. Dengan demikian, Gunung Sinai yang asli lebih logis ditempatkan di tanah Midian, bukan di Semenanjung Sinai.
Hipotesis modern yang sering diajukan adalah Jabal al-Lawz di wilayah Tabuk, Arab Saudi. Beberapa argumen yang memperkuat hipotesis ini antara lain:
Kesesuaian lokasi: berada tepat di kawasan yang sejak dahulu dikenal sebagai tanah Midian.
Kondisi puncak: batuan puncaknya hitam seperti terbakar, sesuai gambaran gunung yang diliputi api (Kel. 19:18).
Temuan sekitar: formasi batu mirip mezbah, sisa reruntuhan kuno, dan tradisi lokal yang mengaitkan gunung ini dengan peristiwa sakral.
Meskipun pandangan ini belum diterima secara universal oleh arkeologi mainstream, setidaknya ia menunjukkan bahwa penempatan Sinai di Jabal Musa hanyalah tradisi belakangan, sedangkan petunjuk naratif lebih mendukung lokasi di Arabia Barat Laut.
Di gunung inilah, menurut rekonstruksi kita, momen monumental itu terjadi. Awan menutupi puncak, petir dan suara sangkakala mengguncang, Musa naik untuk menerima firman. Sepuluh Perintah Allah disampaikan, dan bangsa yang tadinya hanyalah sekumpulan budak dan pelarian kini berubah menjadi umat dengan hukum, identitas, dan panggilan khusus.
Kesesuaian dengan Rekonstruksi Rute Eksodus
Jika kita konsisten dengan rekonstruksi yang sudah dibangun, penempatan Gunung Sinai di Midian justru memperkuat keseluruhan teori perjalanan.
1. Titik Berangkat Thebes → Safaga → Penyeberangan ke Arabia
Kita telah menempatkan awal eksodus bukan di Delta, melainkan di Thebes. Dari sana, jalur logis adalah ke timur menuju Safaga, lalu menyeberang ke wilayah Arabia (sekarang Duba). Ini otomatis menuntun kita ke kawasan Midian, bukan Semenanjung Sinai.
2. Kesesuaian dengan Narasi Musa di Horeb
Torah mencatat Musa pertama kali berjumpa Allah di Horeb, “gunung Allah di Midian” (Kel. 3:1). Jika Musa sudah mengenal tempat itu sebelumnya saat melarikan diri dari Mesir, maka wajar bila tujuan besar eksodus diarahkan kembali ke lokasi tersebut.
3. Sinkronisasi dengan Pola Perkemahan
Narasi menyebutkan bangsa Israel berulang kali berkemah (Sukot, Etam, Mara, Elim, Rafidim, dst.). Setelah menyeberang ke Arabia, mereka punya banyak ruang geografis untuk berhenti di oasis dan wadi sepanjang jalur menuju utara Tabuk, sebelum tiba di gunung besar. Pola ini lebih konsisten dibandingkan lanskap kering tandus Semenanjung Sinai bagian selatan.
4. Melemahkan Tradisi Jabal Musa
Dengan menegaskan bahwa Jabal Musa hanyalah interpretasi Bizantium, kita menguatkan bahwa rute eksodus harus dibaca ulang sesuai teks asli. Penempatan Sinai di Midian bukan sekadar hipotesis alternatif, melainkan konsekuensi logis dari rekonstruksi kita sejak titik berangkat.
5. Kesimpulan Integratif
Jadi, seluruh narasi ini membentuk kesatuan yang konsisten:
- Eksodus berawal dari Thebes,
- jalur pelarian menuju Laut Merah timur (Safaga → Duba),
- penyeberangan dengan mukjizat,
- perjalanan melintasi Arabia barat laut,
- puncaknya di Gunung Sinai/Midian (misalnya Jabal al-Lawz).
Perbandingan Rute: Tradisional vs Hipotesis
| Aspek | Rute Tradisional | Rute Hipotesis |
|---|---|---|
| Titik berangkat | Delta timur (Pi-Ramesses) | Thebes atau sekitarnya |
| Penyeberangan | Teluk Suez / rawa delta | Laut Merah (Safaga–Duba) |
| Sinai | Jebel Musa (Sinai selatan) | Kawasan Midian (Arab Saudi barat laut) |
| Waktu tempuh | Terlalu singkat (2–3 minggu) | ±50 hari, konsisten dengan Torah |
| Masalah | Melewati benteng Mesir, sulit hindari Edom & Moab | Menghindari benturan geopolitik, konsisten dengan teks |
Memasuki Tanah yang Dijanjikan
Setelah menerima hukum di Sinai, kafilah Israel bergerak ke utara. Torah mencatat perjalanan panjang melewati padang gurun, menghindari Edom, dan baru kemudian memasuki Kanaan dari timur, menyeberangi Sungai Yordan. Dengan hipotesis rute Hijaz–Midian, jalur ini menjadi lebih masuk akal: mereka bergerak dari selatan-timur, bukan langsung dari utara Delta.
Kesimpulan
Rute tradisional eksodus menempatkan Musa pada jalur Mesir Delta ke Sinai selatan. Namun, masalah kronologi, geografi, dan konsistensi narasi membuatnya sulit dipertahankan.
Hipotesis rute Thebes–Safaga–Duba–Midian memberikan alternatif yang lebih masuk akal, sekaligus membuka ruang dialog antara teks kitab suci, arkeologi, dan geografi.
Pada akhirnya, penyeberangan Laut Merah tetap menjadi peristiwa yang tak dapat dijelaskan sepenuhnya. Bagi yang beriman, itu adalah mukjizat. Bagi peneliti, itu adalah misteri sejarah yang menunggu untuk dipecahkan.
Epilog: Mengapa Rute Eksodus Hipotesis Kita Lebih Masuk Akal
1. Perbandingan dengan Hipotesis Sebelumnya
-
Hipotesis Tradisional (Delta Timur → Sinai Selatan → Negev)
- Berangkat dari Pi-Ramesses/Tanis di Delta.
- Menyeberang rawa atau Teluk Suez.
- Gunung Sinai ditempatkan di Jabal Musa (Sinai Selatan).
- Masalah: waktu tempuh terlalu singkat, Sinai jauh dari Midian (padahal Torah menyebut Horeb di Midian), dan sulit menjelaskan interaksi geopolitik dengan Edom–Moab.
-
Hipotesis Aqaba Populer (Delta → Sinai Selatan → Aqaba → Hijaz)
- Masih berangkat dari Delta, lalu menyeberang di Nuweiba ke Arab Saudi.
- Sinai ditempatkan di Jabal al-Lawz (Tabuk).
- Masalah: jarak terlalu jauh dari Delta ke Aqaba, sulit ditempuh dalam narasi waktu Torah (±50 hari ke Sinai).
2. Hipotesis Kita (Thebes → Safaga/Duba → Midian/Sinai Hijaz)
- Titik Berangkat: Bukan Delta, melainkan Mesir Hulu (Thebes), konsisten dengan periode Thutmose III.
- Arah Gerakan: Timur langsung menuju Laut Merah, bukan ke utara. Hal ini menjelaskan mengapa Firaun terkecoh (Kel. 14:3: “Mereka tersesat di padang gurun”).
- Penyeberangan: Safaga → Duba, jalur paling logis dalam 7–8 hari perjalanan.
- Gunung Sinai: Masuk akal ditempatkan di Midian (Tabuk), sesuai Torah (Kel. 3:1).
- Kronologi: Perjalanan Mesir → Horeb ±50 hari sesuai catatan Torah (Kel. 19:1).
- Keunggulan utama: Menyatukan arkeologi Mesir kuno, narasi Torah, dan logika geografis.
3. Mengapa Lebih “Mungkin”?
- Konsisten dengan deskripsi tekstual (Horeb di Midian, arah timur, waktu tempuh 50 hari).
- Memecahkan masalah rute tradisional yang tidak realistis secara geopolitik (melewati benteng Mesir, berhadapan langsung dengan Kanaan/Edom).
- Memperhitungkan latar sejarah Mesir (Thutmose III).
- Didukung oleh arkeologi modern yang menemukan budaya Midianite di Hijaz & Teluk Aqaba.
Referensi
- Kitab Keluaran, Bilangan, dan Ulangan (Torah)
- Hoffmeier, J.K. Israel in Egypt: The Evidence for the Authenticity of the Exodus Tradition (1997)
- Kitchen, K.A. On the Reliability of the Old Testament (2003)
- Redford, D.B. Egypt, Canaan, and Israel in Ancient Times (1992)
- Shea, W.H. “Exodus Route Across the Gulf of Aqaba” (Andrews University Seminary Studies, 1982)
- Hoffmeier, James K. Israel in Egypt: The Evidence for the Authenticity of the Exodus Tradition. Oxford University Press, 1997.
- Kitchen, Kenneth A. On the Reliability of the Old Testament. Eerdmans, 2003.
- Shea, William H. “Exodus Route: Sea Crossing at the Gulf of Aqaba.” Andrews University Seminary Studies 20 (1982).
- Blum, Howard. The Gold of Exodus: The Discovery of the True Mount Sinai. Simon & Schuster, 1998.
- Albright, W. F. The Archaeology of Palestine and the Bible. Revell, 1932.
- Bimson, John J. Redating the Exodus and Conquest. Sheffield Academic Press, 1981.