Panggilan Musa dan Kembalinya ke Mesir: Konflik dengan Firaun

Kisah Musa adalah salah satu narasi paling terkenal dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam. Namun, jika ditelusuri dari perspektif sejarah, kisah ini juga bisa ditempatkan dalam konteks Mesir Kuno, khususnya masa Dinasti ke-18. Dalam bagian ini, kita menelusuri panggilan Musa dari Horeb, kondisi Mesir saat ia kembali, profil Firaun, hingga konflik yang membentuk perjalanan eksodus.

Pendahuluan

Dalam narasi kita pada artikel sebelumnya, kita menerangkan beberapa poin penting.

Musa lahir pada masa Thutmose II yang lemah, dia mingkin dipenuhi rasa kehawatiran akan pemberontakan, atau terpengaruh ramalan tentang kejatuhan pemerintahan nya yang memang tidak kuat. Ini membuka narasi "Perintah pembantaian bayi Ibrani" sangat logis sebagai bentuk putus asa dari seorang penguasa yang lemah.

Dalam hal ini, musa mungkin ditemukan oleh Putri dari Thutmose I sekaligus istri Thutmose II, yaitu putri Hatsepshut yang kemudian menjadi ibu angkat Musa.

Setelah kematian Thutmose II, Musa dibesarkan pada masa Firaun wanita Hatsepshut yang memerintah mendampingi bocah Thutmose III, karena Hatsepshut lebih dewasa dan tentunya lebih berpengaruh, dan dugaan bahwa dia adalah ibu angkat Musa, memperkuat narasi Musa dapat hidup tenang dan mendapatkan fasilitas sebagai Pangeran Angkat di Istana.

Pada saat saat kritis masa pemerintahan Hatsepaut sekitar tahun ke 15-20 pemerintahan nya, saat bocah Thutmose III mulai dewasa, kekuasaan Hatsepshut mulai terancam, namun Musa yang saat itu berusia remaja, antara 15-20 tahun malah membuat masalah dengan membunuh orang mesir. Kekuasaan Hatsepshut mungkin sudah tidak cukup kuat untuk membela Musa sehingga melarikan diri ke Midian adalah pilihan terbaik bagi Musa untuk menyelamatkan diri. dari sini lah pelarian Musa ke Midian dimulai.

Panggilan Ilahi di Gunung Horeb

Torah mencatat bahwa Musa, saat menggembalakan kambing domba mertuanya di tanah Midian, menerima panggilan Tuhan di Gunung Horeb (Keluaran 3:1–12). Panggilan ini menjadi titik balik sejarah, menandai awal misi kenabian Musa untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan Mesir.

Horeb, seperti yang kita bahas pada artikel sebelumnya, yang berada dekat wilayah Midian (sekarang barat laut Arab Saudi), memberikan lokasi strategis bagi Musa. Di sinilah transformasinya dimulai: dari penggembala sederhana menjadi pemimpin besar dengan mandat ilahi.

Kembali ke Mesir: Pemerintahan Thutmose III

Di Midian, Tuhan menampakkan diri kepada Musa dalam semak duri yang terbakar. Tuhan menyatakan bahwa "semua orang yang ingin mencabut nyawamu telah mati" (Kel. 4:19) — ini mungkin merujuk pada pejabat pada masa Hatshepsut, serta mungkin juga ancaman dari faksi Thutmose III di masa lalu yang kini sudah mati. orang dalam pemerintahan Thutmose III mungkin telah digantikan oleh pejabat pejabat baru.

Musa, kini berusia sekitar 35-40 tahun, kembali ke Mesir. Ia menghadap Thutmose III yang sudah tua dan keras kepala, didampingi oleh Amenhotep II yang lebih muda.

Seperti cerita kita sebelumnya, saat Musa meninggalkan Mesir Thutmose III memang telah naik tahta, namun masih dalam masa pemerintahan bersama antara Thutmose III yang masih muda dengan ibu tirinya putri Hapshetshut yang diduga ibu angkat musa di istana itu. pada saat itu mungkin Hatshepsut lebih berkuasa daripada seorang pemuda Thutmose III, namun setelah kematian Hetshapsut, Thutmose III adalah raja dengan kekuasaan penuh.

Thutmose III dikenal sebagai firaun perkasa yang melalui tangan dinginnya menghantarkan mesir kuno ke puncak kejayaan nya, seorang firaun Overpower yang memimpin tidak kurang dari 17 ekspedisi militer yang dicatat sebagai kemenangan, dengan penaklukkan mulai dari kerajaan Niya di Suriah utara, hingga jeram keempat sungai Nil Nubia di selatan. Itu terlihat seperti dia mengusai 80% dunia peradaban manusia kuno yang diketahui pada masa itu.

Kekaisaran di Puncak Kekuasaan

Setelah lebih dari 30 tahun kampanye militer agresif, 10 tahun terakhir Thutmose III tidak lagi diwarnai oleh penaklukan besar. Kerajaannya telah mencapai ambisinya. Fokusnya beralih ke:

1. Konsolidasi dan Administrasi:

Thutmose III menghabiskan banyak waktu untuk mengelola kekaisaran yang luas. Ia memastikan jalur perdagangan aman, upeti mengalir lancar dari Suriah-Palestina dan Nubia, dan administrasi lokal berjalan di bawah pengawasan Mesir.

Ia dikenal sebagai administrator yang brilian. Masa ini mungkin diisi dengan penyempurnaan sistem birokrasi yang ia bangun.

2. Pembangunan Monumen dan Penguatan Legitimasi:

Thebes, khususnya Karnak, menjadi proyek utamanya. Sumber daya yang melimpah dari upeti digunakan untuk memperluas Kuil Karnak.

Ia membangun "Festival Hall" (Akh-menju) yang unik di Karnak, sebuah bangunan untuk perayaan festival Sed (jubileum)nya, yang dirancang dengan pilar-pilar yang menyerupai tenda kemah militer. Ini adalah pernyataan simbolis yang kuat, menggabungkan identitasnya sebagai panglima perang dengan peran sakralnya sebagai Firaun.

Pembangunan monumen tidak hanya di Thebes, tetapi juga di seluruh Mesir, termasuk kuil-kuil di Nubia, untuk memperkuat kekuasaannya.

3. Persiapan Suksesi yang Mulus: Co-Regency dengan Amenhotep II:

Tindakan paling penting dalam dekade terakhirnya adalah pengangkatan Amenhotep II sebagai rekan-pemimpin (co-regent). Thutmose III belajar dari masa lalunya yang rumit dengan Hatshepsut. Dengan mengangkat putranya sebagai rekan-pemimpin, ia memastikan stabilitas: Tidak ada kekosongan kekuasaan atau perebutan takhta setelah kematiannya.

4. Kehidupan Keluarga dan Lingkaran Dalam:

Ibunda kerajaan, Meritre-Hatshepsut (bukan Hatshepsut sang mantan Firaun), memegang peran penting sebagai istri utama dan ibu dari penerus.

Istana Thebes adalah pusat seni, budaya, dan kemewahan. Kehidupan berlanjut dengan serangkaian ritual agama, festival, dan penerimaan diplomatik dari negara-negara bawahan.

semua fakta ini menyediakan ekosistem yang sempurna untuk menerima kepulangan "Fallen Prince".

Sebuah Kekaisaran dalam Mode "Pilot Otomatis"

Thebes bukan lagi ibu kota yang tegang menanti kabar dari front pertempuran.Thutmose III sudah pensiun dari dunia. Kekaisaran kini dijalankan oleh mesin birokrasi yang ia ciptakan. Para pejabat, panglima, dan gubernur telah terbiasa dengan rutinitas kekuasaan yang stabil.

Musa kembali ke Thebes yang secara fisik lebih megah,tetapi secara politik telah bergeser. Faksi Hatshepsut sudah punah. Orang-orang yang dulu ingin membunuhnya sudah tiada. Ia menghadapi sebuah sistem yang dingin dan terinstitusionalisasi, dipimpin oleh seorang raja yang melihatnya sebagai fosil hidup atau artefak sejarah dari sebuah era yang sudah selesai. 

Konflik Terbuka: Musa vs Firaun

Ketika Musa, seorang mantan pangeran yang melarikan diri, kembali dan menyampaikan pesan, "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Biarkanlah umat-Ku pergi..." - ini bukan sekadar permintaan. Bagi Thutmose III, ini adalah:
  1. Sebuah Penghinaan Tertinggi: Seorang yang ia anggap sebagai buronan dan bekas bawahan Hatshepsut, berani memerintahkannya.
  2. Tantangan terhadap Kosmologi Mesir: Konsep "Tuhan Israel" yang satu dan tak terlihat adalah sesuatu yang asing dan primitif dibandingkan dengan panteon dewa-dewa Mesir yang kompleks dan terlihat (dalam bentuk patung dan kuil).
  3. Ancaman terhadap Kedaulatan Mutlaknya: Sebagai penguasa mutlak yang tak terbantahkan, membiarkan sekelompok besar tenaga kerja pergi adalah preseden berbahaya yang dapat melemahkan ekonomi dan memicu pemberontakan lainnya.
Setiap kali Musa mengancam dengan tulah, pikiran Thutmose III bukanlah pikiran seorang yang takut, melainkan analisis strategis seorang jenderal yang terbiasa menang.

Seorang prajurit tidak menyerah pada ancaman pertama. Saat merasa ditekan ia akan berpikir bahwa ia harus menunjukkan kekuatan yang lebih besar.

Konfrontasi antara Musa dan Firaun memuncak dalam 10 tulah. Konflik ini bukan sekadar politik atau ekonomi, tapi juga benturan nilai dan legitimasi religius.

Firaun keras hatiMenolak tuntutan pembebasan Israel meski menghadapi tekanan sosial, ekonomi, dan religius. Musa sebagai pemimpin Menegaskan mandat ilahi, memobilisasi rakyat Israel, dan menampilkan mukjizat sebagai tanda. 

Kesimpulan

Kisah Musa lebih dari sekadar narasi religius. Dengan menempatkan panggilan di Horeb, kembalinya ke Mesir, revolusi bani israel, dan konflik dengan Firaun dalam konteks sejarah dan arkeologis, kita melihat Musa sebagai pemimpin yang menavigasi kekuatan politik, sosial, dan religius bani Israel di Mesir Kuno. Eksodus menjadi perjalanan nilai, identitas, dan keberanian melawan otoritas absolut, relevan secara historis maupun spiritual.


Referensi

  1. The Torah, Keluaran 3:1–12; 5:2; 7:13
  2. Hoffmeier, James K. Ancient Israel in Sinai: The Evidence for the Authenticity of the Wilderness Tradition. Oxford University Press, 2005.
  3. Redford, Donald B. Akhenaten: The Heretic King. Princeton University Press, 1984.
  4. Kemp, Barry J. Ancient Egypt: Anatomy of a Civilization. Routledge, 2006.
  5. Tyldesley, Joyce. Akhenaten: Egypt's False Prophet. Viking, 1998.
  6. Exodus 7–12, Torah (sepuluh tulah Mesir)

Postingan populer dari blog ini

Kesadaran, Evolusi, dan Takdir: Menelusuri Jejak Transendensi dalam Diri Manusia

Zikir dan Nalar dalam Satu Ruang untuk mereka yang merenung

Sebelum Segalanya: Menyingkap Misteri Awal Keberadaan