Sebab Pertama dan Tuhan: Penalaran Rasional tentang Awal Segala Sesuatu

Mengapa sesuatu itu ada, dan tidak justru tidak ada sama sekali? Ini adalah pertanyaan mendasar yang membayangi seluruh pencarian pengetahuan manusia. Setiap hal yang kita temui di alam semesta—dari benda-benda fisik, peristiwa, hingga kesadaran—tampak bergantung pada sesuatu yang lain untuk bisa ada. Inilah dasar dari prinsip kausalitas, yakni bahwa segala sesuatu yang muncul atau berubah pasti memiliki sebab.
Namun jika setiap sesuatu disebabkan oleh yang lain, maka akan muncul pertanyaan lebih jauh: apakah rantai sebab-akibat ini bisa berlangsung tanpa awal, menuju regresi tak hingga? Jika demikian, maka tak akan pernah ada saat ketika rangkaian itu benar-benar dimulai—yang berarti tidak akan ada apa pun yang benar-benar eksis saat ini. Regresi tak hingga dalam sebab-akibat tidak menyelesaikan pertanyaan, melainkan menundanya tanpa akhir.
Karena itu, akal sehat dan logika menuntun kita pada keberadaan sebab pertama—yakni realitas yang tidak disebabkan oleh apa pun, yang mandiri, niscaya, dan menjadi sumber dari segala yang lain. Artikel ini akan membahas sifat-sifat rasional dari sebab pertama itu, dan menunjukkan bahwa ia bukan sekadar asal mula, tetapi juga layak disebut sebagai Tuhan secara filosofis.
Artikel sebelumnya : Sebelum Segalanya: Menyingkap Misteri Awal Keberadaan
Keywords : sebab pertama, Tuhan secara rasional, argumen filosofis tentang Tuhan, sifat sebab pertama, eksistensi Tuhan
Sebab Pertama: Niscaya, Mandiri, dan Transenden
Jika kita menerima bahwa segala sesuatu yang kontingen membutuhkan sebab, maka sebab pertama tidak bisa bersifat kontingen. Ia tidak bisa menjadi bagian dari rantai sebab-akibat yang sama, karena itu hanya akan mengembalikan kita pada regresi yang sama. Sebab pertama, agar benar-benar menjadi permulaan mutlak, harus memiliki karakter yang sepenuhnya berbeda dari segala sesuatu yang ia sebabkan.
Pertama, sebab pertama haruslah niscaya. Artinya, keberadaannya tidak bergantung pada kemungkinan; ia tidak mungkin tidak ada. Ini karena jika ia hanya mungkin ada, maka ia memerlukan alasan mengapa ia menjadi nyata, dan itu berarti ia tetap membutuhkan sebab. Dengan demikian, sifat keniscayaan adalah satu-satunya cara baginya untuk tidak membutuhkan penjelasan di luar dirinya.
Kedua, ia harus mandiri—bebas dari segala ketergantungan terhadap sistem apa pun, termasuk ruang, waktu, hukum fisika, atau entitas lainnya. Ketergantungan mengisyaratkan adanya sesuatu yang lebih dasar sebagai penopang, dan itu bertentangan dengan peran sebab pertama sebagai realitas terdalam dan tertinggi.
Ketiga, sebab pertama harus transenden, yakni tidak termasuk dalam kategori realitas yang disebabkannya. Ia tidak mungkin berada dalam ruang-waktu, karena ruang-waktu itu sendiri adalah bagian dari ciptaannya. Ia tidak tunduk pada hukum sebab-akibat fisik, karena ia berada "di luar" hukum-hukum itu. Transendensi ini bukan berarti ia tidak relevan atau tak terjangkau oleh akal, tetapi bahwa ia berbeda secara esensial dari segala sesuatu yang ada karena disebabkan olehnya.
Apakah Sebab Pertama Memiliki Kehendak?
Jika sebab pertama sepenuhnya niscaya, mandiri, dan transenden, maka muncul pertanyaan penting: bagaimana ia dapat "memulai" keberadaan alam semesta? Bukankah tindakan menciptakan atau menyebabkan sesuatu menandakan adanya kehendak?
Dalam penalaran ini, kita menemukan bahwa jika sebab pertama tidak memiliki kehendak, maka keberadaan alam semesta seperti kita kenal menjadi sulit dijelaskan. Tanpa kehendak, tidak ada dorongan atau keputusan untuk “memulai” sesuatu. Maka, kehendak adalah syarat logis agar dari sebab yang tak berubah dan transenden, bisa muncul akibat yang bersifat temporal dan berubah.
Artinya, sebab pertama tidak hanya merupakan prinsip keberadaan yang impersonal, tapi memiliki ciri personal dalam arti minimal: ia "memilih" untuk mencipta. Pilihan di sini tidak mengharuskan adanya waktu dalam diri sebab pertama, tetapi menyiratkan bahwa realitas yang keluar dari dirinya tidak muncul secara otomatis atau mekanis, melainkan secara aktif dan disengaja.
Sebab Pertama sebagai Maha Pencipta dan Tuhan secara rasional
Karena ia menjadi asal mula segala sesuatu, memiliki eksistensi yang niscaya dan mandiri, bersifat transenden, serta mengandung kehendak untuk mencipta, maka ia memenuhi semua syarat untuk disebut Maha Pencipta dalam pengertian filosofis yang murni.
Dalam terminologi yang umum digunakan manusia sejak zaman kuno, entitas yang memenuhi semua syarat tersebut dikenal dengan nama Tuhan. Ini bukan semata istilah teologis, tetapi kesimpulan rasional yang dapat dicapai tanpa mengacu terlebih dahulu pada kitab suci atau dogma keagamaan.
Tentu, berbagai tradisi agama memiliki penggambaran dan relasi lebih lanjut tentang Tuhan—namun dalam artikel ini, kita cukup membatasi diri pada pengertian filosofis yang universal dan rasional tentang Tuhan sebagai sebab pertama yang niscaya, mandiri, transenden, dan berkehendak.
Mengapa Rasionalitas, Bukan Ilmu Empiris
Artikel ini disusun sepenuhnya berdasarkan pendekatan rasional dan filsafat, bukan metode ilmiah eksperimental. Hal ini dikarenakan objek pembahasan—yakni sebab pertama atau asal mula segala sesuatu—berada di luar jangkauan observasi empiris dan pengujian laboratorium. Metode ilmiah hanya berlaku dalam kerangka ruang dan waktu, sedangkan sebab pertama justru dipahami sebagai sesuatu yang transenden, tidak terikat pada ruang-waktu, dan menjadi dasar bagi keberadaan alam semesta itu sendiri.
Dengan demikian, satu-satunya pendekatan yang sahih untuk membahas tema ini adalah melalui nalar murni, prinsip-prinsip logika, dan konsistensi berpikir. Rasionalitas memungkinkan kita menembus batas-batas pengalaman inderawi dengan tetap menjaga koherensi argumentasi. Ini juga sejalan dengan tradisi filsafat klasik hingga kontemporer yang membahas metafisika secara apriori—yaitu melalui penalaran yang mendahului dan melampaui pengalaman indrawi.
Penutup
Melalui pendekatan rasional terhadap prinsip kausalitas dan analisis logis atas struktur eksistensi, kita sampai pada suatu kesimpulan yang tak terhindarkan: bahwa harus ada sebab pertama yang tak disebabkan, niscaya, mandiri, dan transenden—dan sebab pertama ini layak disebut Tuhan.
Ini bukan klaim keagamaan yang berdasar pada wahyu, melainkan hasil dari pemikiran filosofis yang mencoba menjawab pertanyaan paling mendasar tentang asal-usul segala sesuatu. Dan justru karena itu, ia menjadi fondasi penting bagi setiap diskusi serius tentang realitas, makna, dan keberadaan.